Banyak orang yang mungkin menganggap kalau angka dan bilangan adalah
hal yang sama padahal sebenarnya angka dan bilangan adalah hal yang
berbeda. Angka tidak lain adalah simbol yang digunakan untuk
melambangkan suatu bilangan sedangkan bilangan itu sendiri merupakan
suatu obyek yang abstrak. Kata orang-orang sih memang obyek matematika
adalah abstrak sedangkan apa yang nampak (seperti angka, bilangan, kubus
dll) hanyalah merupakan upaya untuk melambangkan hal-hal yang abstrak.
Terus terang aku tidak punya ilmu untuk membahas maupun mendebat hal
tersebut (antara abstrak dan konkret).
Kembali ke masalah angka dan bilangan…
Untuk lebih jelasnya aku berikan contoh:
12——-> mana angka dan mana bilangan pada “12″?
Pada “12″ terdapat dua angka, yaitu angka 1 dan angka 2
sedangkan 12 itu sendiri merupakan bilangan yang melambangkan suatu
kuantitas (panjang, berat, umur dll). Jadi “1″ dan “2″ tersebut
merupakan angka-angka yang digunakan untuk melambangkan bilangan “12″,
tentu saja angka-angka 1 dan 2 juga dapat digunakan untuk melambangkan
bilangan-bilangan yang lain tergantung dari banyaknya angka “1″ dan “2″
yang digunakan dan juga tergantung posisi peletakan angka-angka
tersebut.
Kesimpulannya adalah terdapat 10 angka, yaitu mulai dari 0, 1,
2, … sampai 9. Oh ya 10 angka yang aku maksudkan tersebut adalah pada
sistem penulisan latin, tentu saja masih banyak sistem penulisan yang
lain (seperti Arab, Jawa, Cina, Romawi, Babilonia dll).
Semoga contoh tersebut dapat menjelaskan perbedaan angka dan bilangan.
Sekarang kembali ke masalah sastra (Jawa) dan matematika ya…
Dulu aku pernah menulis tentang apa manfaat belajar matematika .
Ada beberapa komentar yang menyebutkan kalau sastra murni tidak
membutuhkan matematika, nah di sini aku ingin mencoba ngéyél (maaf
bahasa Indonesia untuk ngéyél apa ya? Kalau pakai membangkang sepertinya
tidak tepat ya?) dengan memberikan contoh (walaupun mungkin contoh ini
tidak tepat).
Sekali lagi sekarang aku akan ngéyél mengaitkan sastra (Jawa) dengan
matematika, berhubung mau ngéyél maka contoh yang aku tulis nanti
terkesan dipaksakan :D (kata Sora9n….. “deKing garing” :D ).
Dulu aku sudah pernah menjawab asal-asalan tentang
penggunaan matematika di sastra Jawa, yaitu rumus gatra pada tembang
Macapat (jawaban yang sangat ngawur dan dipaksakan). Sekarang sekali
lagi aku akan memberikan contoh NGAWUR lain tentang matematika dalam sastra Jawa…
Sebelumnya aku persempit dulu definisi matematika di sini, matematika kan salah satunya terkenal dengan dunia simbol (termasuk angka-angka) nah matematika di sini hanyalah sekedar tentang angka dan bilangan (sengaja dipaksakan :D ).
Dulu waktu SMP aku belajar Bahasa Jawa, seingatku dulu mata
pelajaran Bahasa Jawa bukan sekedar muatan lokal tetapi memang wajib
(untuk wilayah Jawa Tengah). Berhubung jaman SMP tentu saja aku hanya
ingat secuil tentang sastra Jawa (padahal dulu juga tidak bisa :D).
Salah satu yang sangat membuatku terkesan adalah kalimat SIRNA ILANG KERTANING BUMI yang kalau tidak salah kalimat tersebut melambangkan tahun runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400. Kok bisa SIRNA ILANG KERTANING BUMI melambangkan bilangan tahun 1400?
Di sastra Jawa dikenal yang namanya SENGKALA yaitu melambangkan
angka dengan kata-kata tetapi sepertinya penggunaan sengkala sebatas
pada pelambangan TAHUN, tidak tahu penggunaan sengkala untuk menyatakan
kuantitas yang lain. Ada dua macam sengkala, yaitu CANDRA SENGKALA untuk
menyatakan tahun Jawa dan Surya Sengkala untuk menyatakan tahun Masehi.
Seperti halnya angka dan bilangan, banyak orang yang menganggap kalau
candra sengkala sama dengan surya sengkala (mungkin karena mereka hanya
fokus pada kata sengkala).
SIRNA ILANG KERTANING BUMI ——–> ada 4 kata.
1400 ———- > ada 4 angka.
Ya setiap kata memang melambangkan suatu angka.
Apakah berarti sirna melambangkan angka 1; ilang melambangkan angka 4 dst?
Sebelum kita cari tahu makna dari masing-masing kata, marilah
kita amati bilangan tahun 1400. Pada bilangan 1400 terdapat dua angka
yang kembar yaitu angka “0″, jadi tentu saja pada sengkala tersebut
seharusnya terdapat dua kata yang sama. Kita tahu bahwa arti kata “sirna” melambangkan ketidakadaan (sirna, lenyap, hilang dll) begitu juga kata “ilang” atau hilang, jadi kata sirna dan ilang melambangkan hal yang sama atau dengan kata lain kata sirna dan hilang adalah sama. Nah dari situ bisa kita tebak kalau kata sirna dan ilang melambangkan ketidakadaan alias “nol”.
Sudah menemukan clue yang lain?
SIRNA ILANG KERTANING BUMI
(0) (0) (?) (?)
Melambangkan apakah kata kerta (kata dasar dari kertaning) dan bumi?
Sepertinya lebih mudah kalau kita membahas kata bumi lebih dulu
karena kita sama-sama tahu kalau bumi itu hanya ada satu (fakta
sementara), jadi berarti kata bumi melambangkan 1 dan tentu saja kesimpulan akhirnya kata kerta melambangkan 4.
SIRNA ILANG KERTANING BUMI
(0) (0) (4) (1)
Jadi pembacaan sengkala arahnya dibalik.
Berikut kata-kata yang digunakan dalam sengkala untuk
melambangkan suatu bilangan (maaf seadanya ya karena jujur saja sudah
banyak yang lupa):
1 : Bumi, buana, surya, candra, tunggal, ika, eka, (p)raja, manunggal, negara dll.
2 : dwi, tangan, sikil, kuping, mata, netra, panembah, bekti, dll
3 : tri, krida, gebyar, dll
4 : catur, kerta, dll
5 : panca, astra, tumata, dll
6: rasa, sad, bremana, anggata, dll
7 : sapta, sinangga, sapi dll
8 : asta, naga, salira, manggala, dll
9 : nawa, hanggatra, bunga, dll
0 : ilang, sirna, sonya, dll
Contoh sengkala-sengkala yang lain :
- Lambang kraton Yogya –> “DWI NAGA RASA TUNGGAL” melambangkan tahun 1682.
- Kabupaten Banyumas –> “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” melambangkan tahun 1582
- Kabupaten Sleman —> “RASA MANUNGGAL HANGGATRA NEGARA” melambangkan tahun 1916 (Masehi)
- Kabupaten Sleman —> “ANGGATA CATUR SALIRA TUNGGAL” melambangkan tahun 1846 (tahun Jawa)
- Kabupaten Pati —> “KRIDANING PANEMBAH GEBYARING BUMI” melambangkan tahun 1323
Semua sengkala-sengkala di atas melambangkan atau menunjukkan tahun berdirinya masing-masing daerah.
Bahkan ada surya sengkala baru yang cukup bagus untuk menandai peristiwa-peristiwa yang menimpa bangsa dan negara kita di tahun 2006, yaitu “RASA SONYA ILANGING PANEMBAH” yang dapat diartikan “HILANGNYA KESADARAN BERBAKTI”.
Ditulis oleh
aan - Jumat, 11 April 2014 - 05.35


Belum ada komentar untuk "Angka dan Bilangan dalam Matematika Jawa"
Berpartisipasi membudayakan komentar yang setia pada topik, berekspresi dengan bahasan yang tidak menyerang dan tidak menebar kebencian, penulis ucapkan matur nuwun telah memberikan apresiasi terhadap artikel diatas